PANGANDARAN JAWA BARAT - Kami merasa Kecewa dan Prihatin dengan adanya penetapan putusan Majelis Hakim Pengadilan Negri Ciamis dalam Perkara Perdata, Register Perkara Nomor : 18 /PDT.G /2022/PN.Cms. Tanggal, 08 Februari 2022, " kata Inisial AAS sebagai warga yang tegabung dalam masyarakat peduli pangangandaran, Senin 14/02/2022.
Diterangkannya bahwa, Pengadilan Negri Ciamis dalam Amar putusannya : Telah menetapkan PT Griya Pangandaran Elok, masih memilik Hak Keperdataan dan Hak Prioritas terhadap Tanah Lapang Ketapang Doyong Bekas SHGB No.1/Pangandaran yang nyata-nyata telah berakhir masa berlakunya sejak tahun 2012.
Padahal sejak dari awal di berikannya HGB tersebut, PT Griya Pangandaran Elok tidak pernah beritikad baik dengan tidak memanfaatkannya sebagaimana Maksud dan Sifat dari Tujuan pemberian hak atas tanah tersebut.
Terlebih lagi jika mempedomani Peraturan Perundang-undangan Pasal 7 Ayat (3) Peraturan-Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021 Tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar, yang menyatakan bahwa :____* Tanah Hak Guna Bangunan, hak pakai, dan Hak Pengelolaan menjadi "objek penertiban Tanah Telantar" jika dengan sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara terhitung mulai 2 (Dua) tahun sejak diterbitkannya hak.” kata AAS.
Mengingat : Pasal 27 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor : 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, menyatakan bahwa: - --“Permohonan Perpanjangan jangka waktu Hak Guna Bangunan atau pembaharuannya diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhir jangka waktu Hak Guna Bangunan tersebut atau perpanjangannya.”
Selanjutnya, pada Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor: 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan pendaftaran-- - dijelaskan bahwa Pemegang HGB berkewajiban : Melaksanakan pembangunan dan atau mengusahakan tanahnya sesuai dengan tujuan peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya paling lama 2 (dua) tahun sejak hak diberikan. *Namun, tambah AAS, pada Faktanya objek tanah SHGB Lapang Ketapang Doyong, dari sejak tahun 1997 sampai dengan sekarang tidak dimanfaatkan sebagaimana Maksud, Sifat dari Tujuan Pemberian Hak Atas Tanah tersebut) Memelihara Tanah, termasuk menambah kesuburannya dan mencegah kerusakannya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup; Menjaga fungsi konservasi sempadan badan air atau fungsi konservasi lainnya; Mematuhi ketentuan pemanfaatan ruang yang diatur dalam rencana tata ruang" malahan sampai sekarang diterlantarkan.
Dan juga, objek tanah bekas SHGB Nomor: 1/Pangandaran, dalam Detail Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pangandaran, dalam Peraturan Daerah Kabupaten Pangandaran Nomor : 03 Tahun 2018, telah berbeda dengan peruntukan tanah HGB tersebut yaitu dalam penataan kepariwisataan untuk di Kabupaten Pangandaran pada objek tersebut telah "berubah peruntukannya, " seharusnya untuk ruang terbuka hijau dan atau ruang terbuka Kegiatan Sosial Kemasyarakatan.
Nah, atas dasar itu, seharusnya pihak PT Griya Pangandara Elok "Melepaskan Hak Atas Tanah...ya, baik sebagian atau keseluruhan untuk dipergunakan bagi "pembangunan kepentingan umum dan Menyerahkannya kembali kepada negara" setelah hak guna bangunannya diabaikan, " jelas AAS.
*Namun faktanya hingga sampai dengan saat ini bahwa PT. Griya Pangandaran Elok belum juga menyerahkan bekas SHGB Nomor: 1/Pangandaran Kepada Negara, padahal jelas-jelas telah di ketahui sudah berakhirnya hak atas tanah tersebut sejak tahun 2012.
Kalaupun pihak perusahaan beritikad baik, seharusnya, permohonan perpanjangan jangka waktu SHGB tersebut dilakukan dua tahun sebelum berakhirnya hak atas tanah, yang mana di atur secara tegas pada Pasal 27 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor : 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, yang menyatakan bahwa : “Permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Bangunan atau pembaharuannya diajukan selambat - lambatnya dua tahun sebelum berakhir jangka waktu Hak Guna Bangunan tersebut habis.
Juga bedasarkan Pasal 2 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor : 3 Tahun 1998, Tentang Pemanfaatan Tanah Kosong Untuk Tanaman Pangan, Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional menyatakan bahwa : Ayat (1) Pemegang hak atas tanah atau pihak yang memperoleh penguasaan atas tanah wajib menggunakan tanahnya sesuai dengan sifat dan tujuan dari pada haknya atau Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku. Ayat (2). Sementara apabila tanah tersebut belum dipergunakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tanah tersebut tetap tidak boleh dibiarkan kosong dan wajib dimanfaatkan dengan menanami tanaman pangan, dengan memperhatikan kesesuaian dan kemampuan tanah sesuai aspek perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup, " papar AAS.
Menurutnya, berkaitan dengan Hak Perdata : keperdataan atas tanah dapat di lihat pada Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
*Namun Pengaturan tentang hak-hak keperdataan terhadap Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai lebih rinci dan lengkap dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, pengaturan Hak Guna Bangunan pada Pasal 19 sampai dengan Pasal 38, bahwa hak keperdataan itu masih melekat, hanya terhadap Sepanjang bangunan, dan benda-benda diatasnya jika ada serta masih diperlukan.
Sebaliknya, Jika dalam hal bangunan, dan benda-benda di atasnya tidak diperlukan lagi, maka Hak Keperdataan Tidak Melekat kepada bekas pemegang hak, dan hak atas tanahnya hapus atau hilang otomatis serta tanahnya seharusnya langsung dikuasai oleh Negara dan menjadi Tanah Negara, serta kepada bekas pemegang hak wajib membongkar bangunan-bangunan dan benda-benda yang ada di atasnya dan menyerahkan tanah dan tanaman yang ada di atas tanah bekas hak kepada Negara, " paparnya.
Terkait pemkab pangandaran telah membangun jalan seluas 2.882 M2...ko bisa harus mengganti rugi kepada PT Griya Pangandaran Elok " itu sangatlah tidak beralasan dan berdasar hukum, dinilai janggal serta keliru.
Mereka menghitung ganti rugi yang harus di bayar oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Pangandaran sebesar Rp. 3.500.000, - (Tiga Juta Lima Ratus Ribu Rupiah) x 2.882 = Rp. 10.087.000.000, - (Sepuluh Milyar Delapan Puluh Tujuh Juta Rupiah)...nah, hal tersebut sangatlah tidak beralasan hukum...ya, karena tanah tersebut telah digunakan Untuk Infrastruktur Jalan Masyarakat secara turuntemurun puluhan tahun lamanya.
Jalan tersebut terletak di Blok Ketapang Doyong Pantai Timur Desa Pangandaran yang faktannya jelas masuk kedalam Wilayah Garis Sempadan Pantai atau Harim Laut.
Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan, tentang pengaturan sempadan pantai, diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Jo. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 dan diatur kembali dengan Peraturan Presiden Nomor :51 Tahun 2016 tentang batas Sempadan Pantai, selanjutnya diatur juga dalam Peraturan Daerah Ciamis Nomor 15 Tahun 2012 dan dijadikan sebagai dasar penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah dalam Perda 3 Tahun 2018, Peraturan Presiden No. 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai dalam Pasal 1 menyebutkan bahwa: _______1. Batas sempadan pantai adalah ruang sempadan pantai yang ditetapkan berdasarkan metode tertentu. 2. Sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian pantai, yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (Seratus) Meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
Jadi, dalam masalah ini Perlu juga diketahui bersama Bahwa, dalam Softfile bisa dilakukan Overlay dikaitkan dan di hubungkan dengan objek peta dari ATR/BPN tentang tanah dalam peta yang telah ditetapkan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG), itu telah di tetapkan dan ditandatangani oleh Semua kementerian terkait.
Sedangkan Skala pada Petanya adalah dengan perbandingan 1:25.000 (Satu Berbanding Dua Puluh Lima Ribu) Dan dalam hal ini sangat jelas jika dilihat dari hasil Overlay bisa dipastikan tanah jalan seluas 2.882 M2, yang telah digunakan untuk jalan masyarakat tersebut, masuk dalam Wilayah Garis Sempadan Pantai...ya, artinya infrastruktur berupa jalan di pinggiran pantai timur pangandaran tersebut masuk ke dalan Wilayah Sempadan Pantai atau Harim Laut.
Selanjutnya kaitan dengan sempadan pantai, itu kan milik Sumber Daya Air dan apabila dibangun infrastruktur yang dikelola oleh Negara, " disitu tidak ada kewajiban Pemerintah/Negara untuk memberikan Ganti Rugi" atas tanah yang masuk ke dalam wilayah sempadan pantai atau Harim Laut.
* sebenarnya, jalan itu sebelum kami lahirpun sudah ada, malahan berdasarkan data pelimpahan aset dari Kabupaten Ciamis sebagai asal Kabupaten pangandaran, tidak di temukannya data kepemilikan tanah jalan seluas 2.882 M2 yang telah di lakukan iventarisasi dalam Berita Acara Pelimpahan Aset dari Kabupaten Ciamis ke Kabupaten Pangandaran.
Malahan, berdasarkan Undang-Undang Nomor: 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Kepentingan Umum, Pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Presiden dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dilaksanakan melalui beberapa Tahapan, yaitu tahap Perencanaan, Persiapan, Pelaksanaan dan Penyerahan hasil Penyelenggaraan Pengadaan Tanah.
Selanjutnya yang menjadi pertannyaannya berdasarkan apa penilaian ganti rugi senilai Rp. 3.500.000, - (Tiga Juta Lima Ratus Ribu Rupiah) x 2.882 10.087.000.000, - (Sepuluh Milyar Delapan Puluh Tujuh Juta Rupiah).
Baca juga:
Catatan Akhir Tahun KPK Menyongsong 2022
|
Pertannyaan selanjutnya Apa dasar hukumnya ? Padahal semestinya kaitan dengan nilai, itu seharusnya mengacu berdasarkan penetapan kajian tim yang telah di tetapkan melalui mekanisme yang di atur berdasarkan Undang-Undang.
*jadi, berdasarkan uraian sebagaimana tersebut diatas, kami sangat berlasan untuk berpendapat bahwa penetapan putusan Perkara Nomor : 18 /PDT.G /2022/PN.Cms. Tanggal, 08 - Februari – 2022, oleh Pengadilan Negri Ciamis telah keliru dan di rasa sangat janggal serta keliru dalam memberikan pertimbangan penerapan hukum.
Terlebih lagi jika di hubungkan dengan informasi adanya seseorang yang telah meminta sejumlah uang sebesar Rp. 1.000.000.000, - (Satu Milyar Rupiah) untuk Kepentingan Pengadilan dalam pemenangan perkara perdata tersebut... wah, pokonya itu keblinger, " sebutnya.***